“Sodakaulahhuladzim”penutup pengajian malam ini
“Eh gir, nguduk yu?”Eka mengajaku makan, padahal hal ini dilarang sebab semua santri harus pergi kemasjid melaksanakan shalat berjamaah.
“Ayo, kebeneran sore tadi gw gak makan, abis ngeliat lauknya, ikan berjaket lagi-ikan berjaket lagi, tapi teraktir gw yah, gw gi gak ada duit”
“Ya udah, tenang aja sich kaya siapa aja gw, gir ajak juga si jawa”
Secara sembunyi-sembunyi kami pergi meninggalkan pondok, dengan berpakain selayaknya orang yang hendak kemasjid sarung dan peci tak lepas dari badan kami bertiga
“Asalamuaialikum, Mak uduk udah mateng” Tanya eka pada ibu warung
“Ada, tuh nasinya baru mateng, mau berapa piring?”
“Tiga mak, nasinya agak banyak soalnya tadi gak makan sore, laper banget ni mak”Eka membujuk ibu warung agar mendapatkan porsi yang special
“Aduh, Ka gw lagi pusing ni gw gi ada masalah”
“Masalah kenapa, bukannya setiap hari lo punya masalah, bentar-bentar bilang pusing”
“Gw serius ni kali ini, si TL ngajak putus, padahal gw gak ada masalah apapun”
“Trus apa dong alesan, pasti ada sebab dong”
“Gak tau lah, tapi dia bilang dia diomelin sama orang tuanya, orang tuanya bilang lo milih sekolah apa pacaran, kan gw jadi bingung”
“Udah, gak usah dipikirin sekarang mendingan kita makan, anggap aja si TL tu uduk, lo abisin, lo telen dia hidup-hidup”
“Ah, bias aja lo Ka, emangnya gw kanibal kaya si jawa”
“apa’an lo gir ngajak-ngajak gw”
Orang bilang wis mangan ora udut eneg mungkin perasaan itu timbul pada kami saat ini setelah kami makan, dengan santainya kami memainkan asap yang sebetulnya berbahaya bagi paru-paru kami, sebatang rokok menempel dimulut kami masing-masing, tiba-tiba datang sesosok tubuh menghampiri kami, tubuhnya tak jauh lebih besar dari sijawa karna dia orang yang paling kecil diantara kami bertiga, dia ustadz kami yang sedang berpatroli mencari santri-santri seperti kami yang sering keluar malam.
“Darjat (togir),Eka, Yayat (Jawa) Pulang, kalian bukannya belajar malah pada disini”Ustadz Dadang dengan kaca matanya tak jauh besar dengan matanya yang memelototi kami bertiga.
Dengan hati Bimbang kami bertiga pulang ketempat persinggahan kami, yaitu penjara suci, kami tau konsekuensi apabila melanggar peraturan pondok, ya kalau gak dibotak paling dikasih kerjaan selama sebulan
“Plak, sebuah telapak tangan menempel dipipi kami bertiga wajah kami serasa panas”
“Mana sisa rokonya” usatadz dadang menanyakan pada kami bertiga
“Gak ada tadz soalnya kami beli Cuma batangan”
“lain kali, kalo saya liat kalian masih suka main kewarung uduk saya botak kalian, ngerti”
“Iya Tadz” serentak kami menjawab
“Ya udah, sekarang kalian belajar jangan keluar lagi”
Mungkin kami sedang beruntung kali ini, rambut kami utuh tanpa hilang sehelaipun
****
Sepertinya saat ini yang tepat untuk menyelesaikan masalahku dengan TL
“L, gw mau ngomong sekarang bisa gak?”
“Mau apa lagi, kan udah gw jelasin, gw gak boleh pacaran ma ortu gw”
“iya, tapi lo harus ngerti gw, gw udah terlanjur jatuh, disaat bunga hati gw sedang mekar tiba-tiba lo potong begitu aja, lo tega L”
“Gw harus ngerti lo, tapi apa lo ngerti’in gw”
Ku tak mampu menjawab karna ku akui aku terlalu egois mementingkan diriku sendiri.
“apa lagi yang mau lo omongin kan semua udah jelas, karang gw mau belajar”
“Tunggu L”kuraih tangannya, mungkin baru kali ini ku genggam tanganya, aku merasakan sesuatu yang sangat berharga akan hilang dari hidupku, aku tak ingin melepaskannya walau hanya sesaat, perasaan itu pun timbul.
“apa lagi yang mau lo omongin, dari tadi lo diem aja ya udah gw kasih waktu lima menit cepet lo ngomong”
Lagi-lagi ku hanya bisa diam membisu tanpa sepatah katapun, ku genggam erat tangannya hingga lima menit pun berlalu, aku hanya bisa berharap waktu berhenti aku tak sanggup untuk melepasnya
“lima menit udah lewat, katanya mau ngomong kok malah diem aja, gw itung sampai sepuluh, terus gw mau pergi”
Dengan berat hati ku lepas dgenggaman tangannya aku tak sanggup saat melihat tetesan air mata yang membasahi pipinya ku hanya mampu melihatnya. Berat dan sakit rasanya untuk siap melepasnya ku hanya bias melepaskan kekecewaan ini dengan memukul benda yang ada di sekitarku pintu, genteng dan lemari mungkin bisa menjadi saksi perihnya hatiku.
Aku kembali menghampirinya dibatasi bilik rombeng ku berkata
“L, gw bukannya takut kehilangan lo tapi yang gw takut kehilangan cinta lo, gw pengen buku harian gw lo sobek karna gw gak mau tersiksa dengan kenangan ini, lo yang memulai dan lo juga yang harus mengakhiri (untuk kisah ini lain kali dibahasnya mentok)
****
”En, tugas dari pa arif udah belom, gw masih belum paham masalah akutansi”
“Udah, Gampang kok, semua jawaban ada dibuku, nih pake aja buku Eni”
Eni adalah orang yang tercerdas dikelas, baik bahasa inggris, akutansi dll. pokoknya hampir semua mata pelajaran ia menguasai
”Makasih ya En, kalo udah entar dibalikin”
“Eni, tunggu dikantor Ustadz ya”
Eni adalah orang yang tepat untuk menyelesaikan masalahku baik, tugas bahkan aku pernah menangis dihadapnya karna masalah keluarga, mungkin itu pantang bagi seorang laki-laki, tapi bagiku itu lebih baik dari pada terus terpendam, ya mungkin itu sekilas seorang Eni, wanita jenius yang hidup jauh dari peradaban.